Selasa, 23 November 2010

Disfungsi Agama di Kalangan Remaja dan Hegemoni Materialistik

Remaja adalah makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang untuk menjadi dewasa di kemudian hari, yang diharapkan menjadi investasi bagi orangtua dan masyarakat dan Negara di masa mendatang. Oleh karenanya ia harus dipersiapkan secara benar dan serius dengan cara mengarahkan, membentuk dan mengembangkan potensi intelektual dan kepribadiannya melalui rasio, moral dan relijius. Sehingga, kelak di kemudian hari tidak menjadi ‘bencana’ bagi dirinya dan ‘musibah’ bagi banyak pihak.

Diskriminasi dan tak acuh terhadap nilai-nilai agama cenderung tidak berefek positif bagi kehidupan keluarga dan sosialnya, karena mengalami disfungsi agama. Karena agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang sakral-teologis tidak bersentuhan dengan dunia empirik yang profan-sosiologis Akibatnya, kedua wilayah ini tidak pernah berkomunikasi secara intim dan berjalan sendiri-sendiri tanpa harmonisasi.


Fenomena belakangan yang muncul adalah tindak kekerasan (violence), penyimpangan (deliquen), kriminal, dan eksploitasi terhadap sesama remaja karena disebabkan pada kondisi adaptatif, tekanan sosial, ekonomi dan budaya. Akibatnya, harus dibayar mahal yakni remaja tidak bisa berkembang secara normal dan berkeadaban (shalih), malah sebaliknya generasi muda malah terjebak dalam kubangan kemajuan sains, teknologi dan dunia materialistik.

Kata kunci: Remaja, Agama, Sosial dan Materislitik

A. Pendahuluan

Dasawarsa terakhir ini banyak bermunculan kasus-kasus sosial yang melibatkan kaum remaja, baik bersifat individual maupun kolektif. Mulai dari yang ringan, sedang hingga sampai yang berat, dalam bentuk tindak pelanggaran, perilaku meyimpang dan tindak kriminalitas. Seperti misal fenomena munculnya gang, tawuran antar sekolah, kebut-kebutan di jalan raya, “mbolos” sekolah secara berjama’ah, pesta miras, pesta sek bebas, main judi, pasang taruhan dalam video game dan Play Station, pengguna narkoba, sindikat curanmor dan berbagai aktivitas negative lainnya.  Kegelisahan pun muncul di kalangan para orangtua, masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, apalagi para pendidik. Namun, sayangnya belum ada pihak yang mengambil sikap, peran dan kontribusi secara jelas dan nyata untuk mencari solusi dan pemecahannya. Paling banter cuma pengarahan, penyuluhan dan himbauan melalui spanduk, pamflet, stiker dan sejenisnya.  Ironinya, masing-masing pihak saling menyalahkan, menuding dan cenderung pihak institusi pendidikan yang harus bertanggungjawab. Padahal, kalau mau jujur mesti dilakukan identifikasi persoalan, kemudian dicari faktor-faktor penyebabnya sehingga unsur-unsur dan elemen terkait  menjadi jelas posisi dan peran yang harus dimainkan. Karena setiap persoalan sosial yang melibatkan remaja, tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif “kacamata kuda” saja, melainkan harus dilihat dengan berbagai aspek tinjauan dan perspektif. Hanya saja, dari banyak aspek tinjauan dimungkinkan akan ditemukan satu faktor dominan yang menjadi titik berat bidikan untuk disoroti lebih kritis. Karena, munculnya fakta sosial – termasuk yang melibatkan remaja – dipastikan ada norma-norma yang tidak berfungsi atau bahkan hilang, yang semestinya harus diketahui dan dipahami untuk dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Tetapi dalam realitasnya mengalami  disfungsi nilai-nilai, sehingga tidak mempunyai efek positif bagi kehidupan sosiologis.

Asumsinya, kejadian-kejadian yang terulang dalam era tertentu yang melibatkan kaum remaja tidak bisa dikatakan sebagai kasus yang luar biasa (abnormal), hipotesisnya ada faktor-faktor tertentu yang turut memicu dan melatarbelakangi terjadinya peristiwa-peristiwa negatif yang cenderung anarkhis dan destruktif..  Kasus-kasus yang terjadi di masyarakat tidak lepas dilatarbelakangi  oleh sejumlah faktor, antara lain: sosiologis, psikologis, politik, ekonomi, teknologi, budaya dan agama. Untuk itulah, tulisan ini mencoba melihat  sejumlah fakta empirik sosiologis masa kini, dengan memfokuskan pada salah satu faktor yang menurut penulis sangat urgen dan signifikan bagi kehidupan individual maupun sosial.  Dari sini kemudian dilihat konteks lain yang relevan dan secara langsung maupun tidak langsung turut andil men-support terjadinya kasus-kasus negatif di kalangan remaja.

Itulah sebabnya tulisan ini mencoba melihat idealitas fungsi agama bagi kehidupan manusia, khususnya bagi remaja untuk menemukan bangunan idealnya dalam upaya pembentukan moralitas remaja. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama rasanya cukup untuk dijadikan landasan sikap dan tindakan dalam merepons tantangan perubahan zaman yang sarat dengan berbagai problem kehidupan dari berbagai dimensinya. Setiap problema dalam kehidupan sudah barang tentu membawa konsekuensi-konsekuensi yang kadang abnormal dan irasional (khariq li al-‘adah wa ghair al-ma’qul),  termasuk dalam melihat dan melihat persoalan remaja dalam kehidupan kontemporer. Idealnya, nilai-nilai agama secara fungsional dapat berdampak positif dalam kehidupan dan pergaulan sosial 

B. Integrasi Agama dan Sosial

Menjelaskan agama dari sudut pandang apapun tetap menarik, meskipun tidak akan pernah memuaskan semua pihak dan tuntas. Hanya saja, dari kacamata seorang sosiolog merasa belum sreg dan marem apabila melihat agama tanpa melibatkan dimensi sosiologisnya. Karena bicara agama, sama halnya membicarakan banyak hal dalam kehidupan empiriknya, mulai dari sistem kepercayaan (iman) yang sakral hingga praktik keagamaannya yang profan. Artinya, agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi sistem sosial, yang tentu saja berbeda dengan persoalan politik, hukum dan ekonomi (Thomas F. O’dea, 1995:1).

Di kalangan sosiolog, semisal Berger, Yinger, O’dea dan Luckmann dalam karyanya masing-masing menekankan nilai-nilai dan atauran-sturan sosial harus memperoleh dukungan dari agama-agama yang memiliki fungsi esensial bagi masyarakat dengan sifat-sifat universalitasnya (Betty R. Scharf, 1995: 94). Dalam kenyataannya, kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi dewasa ini tidak mampu menjawab dan tidak bisa berbuat banyak terhadap persoalan kemanusiaan yang dari waktu ke waktu semakin kompleks dan cenderung destruktif bagi kelangsungan hidup manusia. Seolah-olah nilai-nilai yang terdapat di dalam agama, nilai-nilai etis-moral, sosial dan hukum tak lagi diperlukan. Apa yang diberikan sains dan teknologi saat ini baru sebatas untuk pemenuhan egoistis rasional dan pemenuhan dunia hedonistik-materislistik. Akibatnya, terjadi kehampaan nilai-nilai absolut yang semestinya menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk pegangan hidup hingga mati. Bagi Yinger, sang penulis buku Religion, Society and the Individual menilai, bahwa apa yang telah diberikan oleh ilmu pengetahuan pada saat ini sesungguhnya sangat terbatas dalam memberikan jawaban terhadap berbagai kecemasan (shock) dan frustasi manusia, ia setuju di antara mereka ada yang tidak menganut kepercayaan tertentu, meskipun mereka tetap memiliki nilai-nilai mutlak untuk menopang hidup (Betty, 1995:95).

Pandangan ini tetap menyepakati perlunya agama, bahkan menolak anggapan yang menyatakan bahwa  di saat era telah mengalami kemajuan, orang tidak lagi memerlukan kebenaran nilai-nilai di luar nilai-nilai ilmiah, meskipun sulit dibuktikan kebenarannya. Padahal pandangan ini tidak dikenal sebelum abad 18, karena sesungguhnya manusia sebagai nilai hidup dalam dirinya sendiri, memiliki kewajiban terhadap  Tuhan dan masyarakat yang bisa disatukan, apakah ia sebagai elemen sosial, individu yang hidup, unit moral atau sebagai pembawa kehidupan. Maka menjadi wajar jika kemudian pada saatnya manusia memiliki perasaan yang paling mengecewakan ketidakmampuan untuk terbebas dari kecemasan ketika harus berhadapan dengan berbagai ide baru. Freud, berpendapat bahwa salah satu perasaan yang seringkali yang muncul adalah pembelaan diri untuk mengatasi kecemasan dengan menaruh rasa benci, tak acuh, apriori, antipati, tidak toleran, tidak mampu melihat perspektif orang lain (Benjamin Nelson, (ed.), 2003:29).

Nilai-nilai agama yang paling fundamental dan sentral dalam Islam adalah Tauhid lawan dari Syirik, oleh Ali Syari’ati dijadikan alat analisa realistis dan kritis untuk melihat masyarakat dewasa ini dalam hubungannya dengan peran strata sosial – terutama kelas intelektual – varian ideologi, aliran pemikiran yang muncul dan peran peradaban dan kebudayaan. Baginya, manusia dewasa ini pada hakikatnya mengalami alienasi, ilmunya kaum intelek tanpa hati nurani, karena tawaran konsep-konsep yang abstrak tidak realistis tanpa konsep-konsep filsafat, kebudayaan dan agama (Ali Syari’ati, 1982:27).

Idealnya, ideologi serupa tidak terjadi di abad sekarang ini (abad 21) – era kontemporer – karena sesungguhnya manusia telah keluar dari belenggu sejarah hitam  karakter Jahiliyah menuju era berkeadaban yang ditandai oleh lahirnya Islam sebagai salah satu agama besar dunia yang membawa misi perubahan, kesatuan Tuhan dan Etika, bagi  manusia dalam sistem sosialnya, termasuk di dalamnya misi pembebasan praktik perbudakan, pendewaan, kultus dan sebagainya. Bagi masyarakat Indonesia, yang mayoritas memilih Islam sebagai jalan hidup (way of life), sudah barang tentu menyepakati nilai-nilai dan ajaran yang dikandungnya untuk dijalankan sebagaimana mestinya.  Dalam pendek kata, kehadiran Islam dimaksudkan untuk melakukan reformasi total secara moralitas  (Morality Reformation) sebagaimana yang diakui nabi Saw “sebagai penyempurna budi pekerti” (li Utammima Makarim al-Akhlaq).

Memang disadari, bahwa manusia mampu melahirkan sistem sosial, konsekuensi logisnya manusia juga mampu mengubahnya. Tetapi, jangan lupa bahwa apapun nilai-nilai yang lahir dari sistem sosial tanpa disangga oleh nilai-nilai yang lain, semisal agama dikhawatirkan akan mengalami kerapuhan dan sporadis. Itulah sebabnya, nilai-nilai agama diharapkan dapat memberikan fungsi yang nyata dalam sistem sosial, apapun bentuk strukturnya. Agama, harus dapat memberikan fungsi yang jelas bagi pembangunan masyarakat dari segala aspeknya, bukan malah sebaliknya malah terjadi paradoks dan kontradiktif antar nilai yang ada. Sudah semestinya, agama bukan sekedar alat justifikasi setiap tindakan sosial, tetapi lebih berfungsi sebagai sistem kontrol, alat konfirmasi dan sekaligus media tranformasi sosial. Sehingga, setiap tindakan sosiologis tidak bisa melepaskan diri (detachment) nilai-nilai yang diajarkan oleh agama kepada pemeluknya, bukan malah menjadi counter-society. Tetapi sebaliknya, keduanya harus mampu menjadi inter-relationship yang bersifat timbal-balik (mutually), yang akan menghasilkan kualitas interaksi sosial yang baik.

Kalaulah dewasa ini, agama dan sosiologi terjadi saling tarik-ulur, bargaining position, saling memberikan pengaruh dan mungkin sesekali terjadi benturan (clash), barangkali disebabkan oleh berbagai motif dan interest atau hanya sekedar prestise keilmuan. Jika hal ini berlanjut, sungguh keduanya pada posisi yang yang tidak menguntungkan, bahkan mengalami kerugian yang cukup berarti. Faktanya, tidak mampu membantu secara signifikan apalagi mengentaskan problem kemanusiaan dewasa ini, secara spesifik bagi remaja. Itulah sebabnya, masing-masing wilayah sosiologi dan agama tidak split ‘berjuang’ menegakkan teorinya masing-masing dengan keangkuhan rasionalitas sosiologis versus sakralitas teologis dengan mengusung basis ontologisnya masing-masing.

Bila dilihat secara obyektif kedua bidang ilmu ini, keduanya sangat berkepentingan dengan masyarakat. Agama lahir dari nilai-nilai kebenaran, sedangkan sosiologi lahir dari nilai-nilai sosial dari sebuah struktur social, meskipun kedua tetap saling mempengaruhi, terutama terhadap tindakan manusia. Karena keduanya sesungguhnya ingin membangun jembatan emas untuk mengembangkan dan mengarahkan masyarakat untuk tujuan sosialnya dengan satu kata masyarakat yang bermoral dan sejahtera. Dengan komitmen semacam ini, barangkali bayang-bayang ilusi status quo yang ada pada masing-masing wilayah garapan dan peran tidak terjadi, tetapi diharapkan yang terjadi malah sebaliknya. Yang paling penting adalah wilayah sosiologi bekerja keras untuk menciptakan kesadaran sosiologisnya di satu sisi; tanpa gerakan revolusioner dan di sisi yang lain agama tidak bertindak konservatif-ortodoks dalam memperjuangkan kesadaran moralnya.

Ada tiga hal agama dibutuhkam oleh masyarakat di manapun ia berada, yaitu:Pertama, dilihat dari kepentingan sistem dan struktur kemasyarakatan, pranata agama merupakan sumber nilai dan norma-norma standar yang dapat memberikan keluhuran kerangka motivasi dan etika kerja yang profesional. Kedua, dilihat dari kepentingan individual, agama akan memberikan dimensi keseimbangan, dimensi spiritual dan dimensi material. Ketiga, dilihat dari kepentingan manusia agama menaruh kehormatan tertinggi terhadap kemanusiaan yang pemaknaannya menjadi penting bagi peradaban dan pengamanan hasil-hasil kreatif berupa peradaban baru yang telah dicapai oleh umat manusia (Nurcholish Madjid, et.al., 2000:349).

Sudah semestinya, jika perkembangan sains dan teknologi sekarang ini membawa implikasi serius bagi tumbuh dan berkembangnya agama. Sehingga sebagian kalangan agamawan berpikir bahwa kehadiran sains dan teknologi hanya berimplikasi pada dampak negatif saja. Sementara kalangan developmentalisme mereka bersikap “masa bodoh”, yang penting kemajuan dengan pengetahuan dan teknologi harus dicapai, dengan menilai agama hanya menjadi penghambat kemajuaan karena puritanisme dan tidak mampu menjawab persoalan kemasyarakatan, karenanya ia hadir utopis tidak membawa implikasi kehidupan secara signifikan.

C. Agama dan Tantangan Hegemoni Materialistik

Paling tidak ada tiga hal penting yang cukup menonjol dalam melihat  persoalan agama yang menyangkut hegemoni bendawi: Pertama, semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap fungsi agama; kedua, agama tampil kurang menarik dibanding dengan penampilan (performance) dunia material; dan ketiga, agama dipandang sebagai urusan akhirat yang terpisah dari kehidupan dunia (sekuler).  Terkesan, ini hanya masalah penafsiran masyarakat terhadap agama, dari aspek apa mereka melihat. Namun yang pasti, kehadiran materialistik sekarang ini mengubah cara pandang masyarakat terhadap agama dan kehidupan dunia. Akibatnya adalah kehidupan sering-sering diukur dengan parameter bendawi, sampai-sampai keberhasilan seseorang diukur sejauhmana kepemilikan materi yang ia miliki, tanpa melihat bagaimana cara materi itu diperoleh.

Persoalan pertama, disebabkan adanya pandangan tentang status ekonomi dan kekayaan bendawi merupakan driver arah kehidupan ini dan mampu mengangkat harga diri dan citra sosial. Karena hanya dengan benda yang mampu memainkan peranan penting dalam mewujudkan dream tentang kesejahteraan dan kebahagiaan. Jadi, bukan agama yang sebenarnya ikut berperan, karena memandang agama hanya dari sisi abstrak dan bersifat teologis belaka. Sehingga, agama tidak lagi memperoleh wibawa dan kepercayaan sepenuhnya di tengah-tengah masyarakat. Apalagi, fungsi agama sudah bergeser dari fungsi orisinalitasnya; yang seharusnya menjadi, sumber kebenaran, motivator kerja, pengontrol dinamika masyarakat, pembawa nilai-nilai kebaikan dan keluhuran, penyejuk dan pemersatu masyarakat. Apa yang terjadi sekarang ini justru, malah sebaliknya agama hanya dijadikan “senjata ampuh” sebagai alat pembenar (justifikasi) setiap tindakan – bahkan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan sekalipun – atau beralih fungsi sebagai penangkal (bemper) atau tameng belaka, yang lebih fatal lagi dijadikan sebagai alat “penghancur” (destroyer) terhadap “lawan” yang tidak sepaham atau tidak disukainya. Pendek kata, agama beralih fungsi menjadi alat kekuasaan bagi kepentingan individual, kelompok tertentu, komunitas eksklusif termasuk dalam pemenuhan interes ekonomi dengan jalan menghalalkan segala cara, termasuk dengan jalan kekerasan (violence).

Persoalan kedua berkenaan dengan performance agama itu sendiri yang ditampilkan oleh pemeluknya dengan “baju” yang kumal, murahan dan apa adanya. Sehingga performance agama kurang menarik dan kurang wibawa ketika harus “berpose” di depan para competitor yang berbaju lebih menarik, mewah dan gemerlap atas nama materi. Sedangkan di sisi yang lain, telah terjadi transformasi budaya materislistik besar-besarnya secara terbuka tanpa “tedeng aling-aling” di semua lini kehidupan saat ini. Hingar bingarnya kehidupan materialistik saat ini seolah menjadi skat (hijab) dan penghambat tumbuh berkembangnya agama di tengah-tengah masyarakat. Fasilitas materislitik, secara perlahan-lahan atau frontal telah menggerogoti nilai-nilai kebaikan agama, juga nilai etika dan sosial.

Apa yang terlihat sehari-hari di sekitar kita, apakah berupa media massa - cetak maupun elektronika - alat transportasi, pakaian, media informasi dan komunikasi, alat rumah tangga, kosmetika, makanan, minuman, obat-obatan, ragam asesoris dan perhiasan, yang ditawarkan secara berlebih-lebihan dan vulgar dan seolah bebas nilai, adalah bukti konkret keberhasilan hegemoni materislistik. Meskipun harus diakui bahwa keberhasilan dalam satu bidang, bisa jadi menimbulkan kekacauan di bidang lain. Apa boleh dikata, fakta yang bicara dan tidak bisa mengelak dan dihindari. Tidak cukup hanya sedih, gelisah dan prihatin, jika itu semua dianggap sebagai sebuah persoalan serius, tentu perlu dilihat sebab-sebabnya. Sekarang diperlukan rumusan konseptual untuk aksi, maka tugas fungsional agama adalah bagaimana menghadirkan (how to present) dan menampilkan (how to expose) agama secara elegan, kharismatik, penuh percaya diri (confidence), menarik  (atractive) dan inovatif dengan muatan nilai-nilai universal yang dimilikinya. Dengan demikian, agama silau terhadap perubahan dan tidak teralienasi dari interaksi sosial serta pergaulan global.

Persoalan ketiga, melihat urusan agama hanya berkaitan dengan urusan akhirat dan hanya menjadi tanggung jawab agamawan, rohaniawan, dan para ulama-nya. Oleh karenanya, agama dianggap tidak perlu intervensi (ikut campur) dengan urusan duniawi yang identik dengan dunia materialistik. Akibatnya, agama dipandang hanya akan menjadi faktor penghambat kemajuan, karena hanya berfungsi sebagai menghalalkan dan mengharamkan saja. Pandangan sekuler ini sebenarnya melihat kehidupan secara dikhotomis yang hanya akan melahirkan pertentangan dan perbedaan secara diametral, yang tidak akan pernah sampai pada titik temu. Memang diakui, ada wilayah agama yang tidak terjangkau (beyond) oleh dimensi rasional, karena hanya bersifat maknawi-fundamental. Yang jelas, bahwa agama tidak pernah menutup diri (eksklusif) secara legal-formal terhadap hal-hal yang terjadi di luar dirinya, apalagi  men-cover untuk tidak berinteraksi dengan aspek lain meskipun membawa konsekuensi-konsekuensi dan risiko-risiko.

Sesungguhnya, agama telah memiliki pengalaman sejarah panjang, teruji dalam menghadapi pertarungan ideologi  dan banyak isme, termasuk sampai hari ini masih harus berhadapan dengan dunia meterialisme. Maka, agama tidak pernah menarik diri (detachement), tetap memiliki tanggung jawab untuk melakukan counter dan berusaha tidak kehilangan arah (vertigo) dan tidak skeptis dengan kemajuan yang telah dicapai dunia meterialistik. Tidak dipungkiri bahwa kemajuan di satu bidang sering-sering membawa implikasi etis di dalam masyarakat. Pengetahuan menurut akal sehat (common sense), masyarakat memandang agama justru sangat efektif dan strategis dalam melihat perubahan dan dinamika masyarakat kontemporer yang hiruk pikuk ini, selama agama mampu memainkan peranannya secara kritis dan tepat. Dengan suatu pemahaman bahwa setiap agama memiliki sistem yang jelas, terutama system of believe dan system of conduct. Idealnya, ia harus tampil sebagai agent of social change di tengah hegemoni budaya bendawi seperti sekarang ini. Anggap saja, ia sebagai competitor yang hadir di tengah-tengah masyarakat yang tak mungkin dihindari, tentu saja sikap optimis yang akan mampu secara survive dan gentleman dalam menghadapi tantangan ini. Eksistensi agama akan tetap diakui, manakala para pemeluknya – apapun agamanya – masing-masing memiliki peran dan kontribusi riil di tengah-tengah masyarakat, dengan berbagai struktur sosial yang ada. Sehingga agama, mampu memberikan arti dalam kehidupan dan makna manusiawi seutuhnya, atau dalam istilah L. Berger suatu keharusan fungsional (Functional Imperative) dalam struktur sosialnya (Peter L. Berger, 1985:201). Memang disadari bahwa manusia modern, terpengaruh oleh situasi kebendaan dan nonagama dalam kehidupannya, sudah barang tentu kurang menganggap penting persoalan agama dan apa saja yang terkait dengannya termasuk wilayah etika dan aqidah (Muhammad Qutb,1986:7). Jika demikian halnya, maka agama dipastikan mampu mempertahankan eksistensi dan fungsinya ketika harus berhadapan dengan gempuran gerakan materialistik, yang dari waktu ke waktu semakin menggila.

D. Remaja dalam Sketsa Sosiologis

Persoalan remaja terkait dengan masalah kependudukan, ekonomi, ekologi, pendidikan dan aspek-aspek lain termasuk dengan agama. Daerah-daerah permukiman yang transisional, kepadatan populasi dengan berbagai kelas sosial, kesenjangan ekonomi, keterbelakangan pendidikan, rendah mental,  minimnya pengetahuan agama, pengertian mengenai nilai-nilai etis dan social dan ragam situasi lainnya membawa implikasi dan konsekuensi yang serius bagi sikap dan perilaku remaja. Perkembangan kota yang telah merangsek ke wilayah-wilayah pinggiran bahkan ke daerah perdesaan seolah menjadi pemandangan sehari-hari, fenomena kompetisi dan ambisi materi yang tinggi   turut memicu adrenalin kecenderungan dan interes baru yang bersifat materislistik. Bahkan diduga kuat memaksa dan menuntut terpenuhinya keinginan-keinginan yang aneh-aneh. Jika tidak didukung oleh daya, maka yang terjadi ketidaknormalan (abnormal) dan irasional. Dari sinilah kemudian muncul dorongan-dorongan impulsif untuk menjadi agresif, tak terkontrol bahkan destruktif.

Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini, mayoritas melibatkan remaja mulai dari membohongi orangtua, menipu, mencuri, menodong, menjambret, merampok, maling, berjudi, alkoholisme, kejahatan narkoba, kejahatan dan eksploitasi seksual hingga pembunuhan seolah menjadi aktivitas rutin. Kita bisa lihat secara sadar dalam mass media cetak maupun elektronika, yang setiap hari menghiasi halaman-halaman koran, majalah dan layar kaca televisi. Barangkalai ada benarnya hipotesis yang menyatakan bahwa variasi ekologis yang menyatakan bahwa jumlah kejahatan remaja dalam satu kelompok rasial tertentu merupakan fungsi dari posisi sosial-ekonomis mereka (Kartini Kartono, 1992:71).

Menurut Kartini Kartono, (Ibid) studi mengenai banyak kasus remaja jahat menunjukkan adanya banyak unsur, antar lain:

   1. Kekecewaan luar biasa karena tidak diterima oleh lingkungan sosialnya
   2. Mengalami frustasi karena tidak mampu meraih obyek yang diinginkan
   3. Diliputi oleh perasaan tidak aman


Menurut hemat penulis, ada sejumlah persoalan kompleks yang terkait dengan kejahatan remaja dan orang muda, antara lain disebabkan:

   1. Munculnya krisis berbagai dimensi dalam negara, terutama munculnya sistem ekonomi global
   2. Populasi penduduk yang padat menuntut hidup kompetisi dan menekan kebutuhan hidup sehingga melahirkan faham individualisme
   3. Ketersediaan lapangan pekerjaan yang sangat terbatas
   4. Minimnya penghasilan (UMR) di tengah kemewahan masyarakat kota
   5. Disorganisasi familial dan sosial, yang berakibat pada sikap tak acuh, tak peduli dan masa bodoh
   6. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai etis, moral, sosial dan agama sehingga hilang kesadaran tentang nilai-nilai kebaikan
   7. Sistem kontrol yang masih lemah dan fungsi hukum yang belum berjalan sebagaimana mestinya, yang mengakibatkan hilangnya kewibawaan di mata masyarakat
   8. Hilangnya figur keteladanan pemimpin negara dan masyarakat termasuk tokoh-tokoh agama (ulama’), sehingga melahirkan rasa ketidakpercayaan kepada mereka

Semua itu jika kita cermati satu persatu, masing-masing faktor memberikan kontribusi munculnya berbagai kejahatan dan tindakan-tindakan pelanggaran norma-norma yang ada.  Hanya saja, pasti ada faktor mana yang paling berpengaruh dan dominant. Tingkah laku abnormal (deliquen) pada remaja diakibatkan oleh pengaruh sosial dan kultural secara signifikan. Dalam arti, bahwa lingkungan yang buruk, kurangnya kontrol diri dan kontrol sosial dapat memicu percepatan pertumbuhan situasi menyimpang di kalangan remaja. Sebenarnya, ketidaktahuan, kebodohan, keterbelakangan dan keterasingan sosial tidak dikehendaki  oleh siapapun dan tidak terjadi begitu saja tanpa sebab.  Bila dilihat secara sosiologis barangkali kita sepakat, semua itu sebagai akibat dari produk “pergolakan sosial” yang luar biasa dahsyatnya. Kemudian muncul kekhawatiran, ketidakmampuan diri ketika harus beradaptasi dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial, baik itu dalam skala mikro maupun makro. Sepanjang era ilmiah sekarang ini, pemahaman manusia tentang nilai-nilai moral dan spiritual pun berjalan pincang di belakang ilmu pengetahuan material, ketika ia melangkah mantap jauh ke depan yang selalu mendorong pada penalaran logika rasionalistik (J. Donald Walters, 2003:112).

Sebagaimana yang kita alami di negara kita, pada 10 tahun terakhir ini mengalami masa-masa yang kompleks: transisi, transformasi, adaptasi atas nama sebuah Reformasi yang tak terprediksi (unpredictable) ternyata mendatangkan banyak persoalan yang rumit dan berkepanjangan. Masyarakat Indonesia yang umumnya masih massif cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat egoistik, individualistik dan agresif. Fakta menunjukkan, pada masa ini semakin bertambahnya tingkat kejahatan, secara kuantitas maupun kualitas dan meningkatnya konflik sosial di level vertikal maupun horisontal pada skala lokal sampai aras nasional. Apalagi dipicu dan dipacu oleh merosotnya tingkat ekonomi, yang berimbas pada banyaknya pengangguran dan hilangnya hak-hak tertentu, sehingga mengakibatkan pemiskinan yang menurunkan tingkat kesejahteraan dan kemiskinan yang menimbulkan sock, stress, depresi dan frustasi sosial. Diduga kuat adanya relasi yang kuat antara kemiskinan dan tingginya kejahatan.

Dalam kondisi ini, seolah agama tidak dianggap menjadi bagian penting dalam proses reformasi ini. Dengan satu asumsi, bahwa agama hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat normatif-teologis dan keakhiratan, sehingga wilayah agama jarang --untuk tidak mengatakan-- sama sekali diajak dan dirangkul untuk  berperan membantu dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang terkait dengan bidang ekonomi, hukum, sosial, politik dan sebagainya. Sedangkan kalangan agamawan, nampaknya juga merasa kurang care, tidak percaya diri (confidence) dan seolah tidak berkepentingan langsung dengan problema tersebut. Akibatnya, agama dalam konteks negara (state), tidak dipandang cukup signifikan dan kompeten dalam memberikan membantu mencari alternatif solusi dan problem solving. Pandangan sepihak semacam ini, barangkali didasarkan atas pemahaman sekuler, agama hanya berkewajiban mengurus umat masing-masing dalam hal sistem kepercayaan (iman) dan ibadah (ritual).  Dalam arti, hanya mengatur hubungan intim antara Sang Maha dengan hamba-Nya, yang tidak perlu memikirkan orientasi duniawi dan tidak bertanggungjawab atas semua ini. Persepsi ini sesungguhnya tidak meletakkan agama sebagaimana mestinya, padahal sebenarnya dalam agama kebanyakan memiliki kesamaan pandangan terhadap hubungan antara Tuhan, Manusia dan Alam, yang oleh Ali Syari’ati diumpamakan bagaikan hubungan antara cahaya dan pelita yang memancarkannya (Ali Syari’ati, 1982:104). Dengan demikian, totalitas agama harus dipandang sebagai sebuah sistem yang paling tepat dalam struktur maupun tatanan sosial apapun situasi dan kondisinya, dalam menghadapi perubahan social.

E. Simpulan

Apa yang telah mampu digapai oleh masyarakat kontemporer sekarang ini, indikator yang kentara adalah capaiannya dibidang sains dan teknologi yang telah merambah ke semua lini dan relung-relung kehidupan. Cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang damai, sejahtera dan makmur adalah sebuah ideal yang luhur, yang sesungguhnya sama apa yang diidealkan oleh agama. Sayangnya, tolok ukur yang dipakai berbeda. Di satu sisi, ilmu Pengetahuan mengandalkan logika rasionalistik-materislistik yang bersifat bendawi, dan agama mengacu pada parameter nilai-nilai etis, moral dan kebaikan yang bersifat spiritualitas.

Keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membawa sejumlah konsekuensi yang signifikan bagi masyarakat, terutama berpengaruh pada mindset dan cara pandang (perspective) dalam melihat agama dan kehidupan. Cara pandang materialisme, yang didominasi oleh kapitalisme melihat materi (benda) menjadi parameter keberhasilan, meskipun miskin dan jauh dari nilai-nilai kebaikan agama. Agama, seolah tidak memiliki peran strategis bagi sebuah kemajuan, akibatnya agama hanya dilihat dengan sebelah mata yang notebene diklaim sebagai penghambat kemajuan  ilmu pengetahuan lantaran sifat konservatifnya.

Fakta empirik menunjukkan, bahwa hegemoni ini secara revolusioner mampu merubah mentalitas dan pola hidup (life style) hedonistik sebagian masyarakat dewasa ini, terutama di kalangan remaja. Bukan tidak mungkin lama kelamaan menjadi karakter dan jalan hidup (sunnah) dalam kehidupan sehari-hari di masa mendatang. Namun, fakta pula yang berbicara, bahwa faham kapitalisme ini gagal meraih gold medal dalam merongrong kharisma dan kesucian nilai-nilai agama, dengan isu-isu internasioanalnya, bahkan tersungkur dan berantakan karena ulahnya sendiri yang liberal, interventif, arogan dan provokatif. Maka saatnya, agama memanfaatkan momentum untuk memberikan kontribusi dan perannya secara aktual di tengah-tengah masyarakat mulai dari kalangan remaja yang sekarang ini telah terlilit belenggu materialistik dan dominasi kapitalis. Agama akan menjadi the winner, manakala ia dimainkan secara cantik dan menawan melalui majlis-majlis keagamaan, institusi-institusi keagamaan maupun media fungsional lainnya dalam berbagai struktur dan organisasi sosial yang ada, tanpa harus menafikan dan meninggalkan sisi kemajuan dan manfaat yang bisa dirasakan dari produk ilmu pengetahuan dan teknologi.

* Muhammad Yusuf adalah dosen Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta


Daftar Pustaka

    * Berger, Peter L., Humanisme Sosiologi, terj. Daniel Dhakidae, Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985.
    * Muhammad Qutb, dkk., Jahiliyah Modern, terj. Hamid LA. Basalamah, Bandung: Risalah, 1986,  Cet. I.
    * Kartono, Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: Grafiti Pers, 1992, Cet. II.
    * Madjid, Nurcholish et. al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Peny. Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Mediacita, 2000, Cet. I.
    * Nelson, Benjamin (ed)., FREUD Manusia Paling Berpengaruh Abad ke-20, terj. Yurni, Surabaya: Ikon Teralitera, 2003, Cet. I.
    * O’dea, Thomas F., Sosiologi Agama suatu pengenalan awal, tim penerjemah YASOGAMA, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada/Rajawali Pers bekerjasama dengan YASOGAMA UGM Yogyakarta, 1995, cet. VI.
    * Robertson, Roland, ed., Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj.
    * Achmad Fedyani Saifuddin, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, cet. IV.
    * Scharft, Betty, R., Kajian Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995, Cet. I.
    * Syari’ati, Ali, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin,  Yogyakarta: Ananda, 1982, Cet. I.
    * Walters, J. Donald, Crises in Modern Thought Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, terj. B. Widhi Nugraha, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar