Senin, 22 November 2010

Masih Butuhkah Kita Pada Agama?

Masih butuhkah kita pada agama? Pertanyaan semacam ini berkabar keprihatinan dan letih akan carut marut yang terjadi dalam relasi antar umat beragama. Keberimanan kita disakiti sedemikian rupa dengan keadaan sosial-budaya yang diperlihatkan oleh antar umat beragama yang seringkali tak bersahabat.

Konflik-konflik horizontal semakin meruncing dan saling menajamkan diri di tengah masyarakat dengan atas nama agama. Keberbincangan kebenaran, keadilan, kekafiran dan sebagainya menjadi ruang pengadilan dengan membawa bendera agama tertentu. Agama seringkali tampil sebagai cambuk dan bumbu konflik yang terjadi untuk memenuhi hasrat nafsiyah dirinya sebagai manusia yang angkuh dan tak tahu diri. Mereka lupa bahwa agama memiliki dimensi yang tak dapat kita lupakan begitu saja.


Munculnya kelompok-kelompok yang dibangun atas dasar kebencian dan hasrat kebinatang kemudian semakin liar di tengah masyarakat. Mereka meng-isukan melawan ketidakadilan, sekularisme, hedonisme-kapitalisme, ateisme, dan sifat-sifat “kemungkaran” lainnya dengan cara kekerasan tanpa ampun serta dehumanisasi. Sehingga agama menjadi perbincangan sensitif dan menakutkan.

Berbicara sedikit saja tentang bagian kecil agama, lalu bermunculan perlawanan dengan argumentasi yang merujuk pada kitab suci, dimana mengambil sebagian atau sepotong saja dari isi kitab suci yang sekiranya mendukung tindakannya. Kalau kita sepakat bahwa benar dan salah adalah keputusan Tuhan, kenapa harus terjadi saling tuding dan menyalahkan? Mengapa harus kita yang mengkafirkan pihak lain? Mengapa hal semacam itu menjadi representasi sikap segelintir umat beragama dengan alasan menyelamatkan aqidah atau keimanan?

Catatan ini bukan ada ingin untuk menyebarkan anti agama, sebab bagaimanapun keimanan saya tidak dapat digantikan dengan apapun. Keimanan yang sudah tidak tersentuh oleh pihak lain kecuali aku dan Tuhan. Kalau kita kaji ulang, konflik dan peperangan yang terjadi sepanjang sejarang umat manusia sebenarnya bukan sebab agama. Itu hanya isu untuk mendukung kepentingan dirinya sebagai manusia yang penuh hasrat dan ketamakan. Bagi saya, agama terdapat dua hal, yaitu yang tak tersentuh dan dapat disentuh. Agama yang tak tersentuh itulah merupakan kesakralan yang tidak dapat dipahami dengan sentuhan kita. Tidak ada kemungkinan sedikitpun kita dapat memahami kemahaan dan kesempurnaan agama yang tak tersentuh itu, kecuali sang Maha itu sendiri. Dan kita tidak dapat menelaah atau meneliti dengan mata kita sebagai manusia.

Sedangkan agama yang tersentuh itu, adalah bagian kulit agama. Dimana agama dipengaruhi oleh beberapa unsur manusia, seperti sosial-budaya, etnis, pemahaman sepintas, politik, dan kepentingan-kepentingan lainnya yang menyebabkan terjadinya konflik atau perang sampai pada dehumanisasi. Jadi tidak ada yang salah dengan agama, sama sekali tidak ada yang salah. Kesalahan itu berada pada pemahaman kita tentang agama itu sendiri. Pemahaman itulah yang kemudian menimbulkan permasalah di tengah masyarakat yang perlu kita interpretasikan dan dipahami ulang. Bukti sederhana bahwa agama jauh dari kesalaha dan bukan penyebab konflik dan perang adalah sepanjang sejarah manusia tetap membutuhkan agama.

Agama yang tersentuk itu sebenarnya sudah dipertegas oleh salah satu tokoh intelektual dibidang agama, yang mengurai dimensi agama dengan gambling dan mudah dimengerti, yaitu Ninian Smart. Menurutnya, dimensi agama terdapat enam bagian, yaitu: 1) dimensi doktrinal atau filosofis, 2) naratif atau mistis, 3) etis atau legal, 4) praktis atau ritual, 5) eksperiensial atau emosional, dan 6) dimensi sosial atau institusional. Dari dimensi-dimensi agama inilah kemudian berkembang pemahaman-pemahaman tentang agama. Akan tetapi, dalam hal ini belum sampai pada agama yang tak tersentuh. Sebab agama yang tak tersentuh itu hanya dapat dipahami oleh individu dan Tuhannya, bukan atas dasar analisis komunal.

Menurut Keith Ward, kitab suci (tulisan-tulisan religious) dapat disalahgunakan dan diyakini untuk memperoleh dukungan moral atas kebencian dan intoleransi. Keyakinan yang salah pun bukanlah disebabkan oleh agama, melainkan sikap kebencian, keinginan berkuasa, dan pengabaian terhadap sesame makhluk hidup. Artinya, agama tidak menuntun pada sesuatu yang tidak baik, sifat manusialah yang sebenarnya menuntun pada keburukan. Dalam kajian tasawuf kita temukan mutiara yang dapat diangkat kepermukaan, yaitu “kalau kita dicubit sakit, maka mencubit tak perlu terjadi”.


* (catatan ini kutulis setelah ada saran dari Bonie Debond, ia ketakutan membaca buku yang berjudul “Benarkah Agama Berbahaya?”, karya Keith Ward, Kanisius 2005)
** (pemahaman lain, Agama di alis Durkheim, Sigmund Freud, Karl Marx, E.B. Tylor dan J.G. Frazer, Mircea Eliade Paul Tillich, Wilfred Cantwell Smith, Feuerbach, Karl Barth, Boenhoeffer, dan banyak lainnya. Tapi yang perlu diingat, mereka membahas agama pada kadar mereka sendiri, atau pada kemampuan diri mereka masing-masing, bukan pada agama yang tak tersentuh itu. Sebab agama yang tak tersentuh tak mungkin dicapai dengan pemahaman umat manusia yang terbatas itu. Maka biarkanlah agama tetap menemani manusia dengan segala prosesnya, dan yang perlu diperhatikan adalah dehumanisasinya).
*** setelah membaca catatan ini kalian pastilah gelisah dan ingin mengumpat dan mencacimaki, tapi baiklah…itu juga proses…sebab aku tertarik pada filsafat proses Whitehead. [Slamet]


Timoer Bandung, Bulan Lima 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar