Senin, 22 November 2010

Ketika Agama Tak Lagi Mendamaikan: Relasi Manusia dan Agama Menurut William James

Religion was existed along human intendence in the world. Initially, religion have extending expectation for human being with good order and ruthless of soul. But, holy message of God by religion was miss understood by many believer. 

Happened war of religion between that follower. Tragedy in Jaza Strip are example on this problem. Israel say Palestine earth is mine, based on Old Treastment ini Bible. In this article, I will explain about human and religion relationship with William James perspective. James is a part of pragmatism tradition notable exspecially with pragmatical faith. I hope all of reader can a clearly about problem of holy war which was happen in the world exspecially on today.


Prolog

Sejak tanggal 27 Desember 2008 sampai hari ini (12 Januari 2009) kita menyaksikan tradegi kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza Palestina. Peristiwa bukanlah yang pertama, tapi merupakan rangkaian kekejaman Israel terhadap Bangsa Palestina sejak pemerintahan Turki Ustmani di bawah pimpinan Sultan Abdul Hamid II 1876-1909 M (Republika, 11 Januari 2009).

Dunia internasional tak berdaya. Hatta, PBB yang didaulat sebagai penjaga keamanan dunia tak jua berkutik untuk menghentikan keganasan serangan militer Israel. Naluri akan mengatakan tindakan ini merupakan “pemerkosaan” terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sesuatu yang tak bisa diterima sebagai sesuatu yang baik oleh akal budi manusia.

Logika yang bisa kita tarik adalah jika tindakan keji Israel bertentangan dengan sifat kemanusiaan universal, berarti ada salah dengan cara berpikir orang Israel, atau mereka memang sudah tidak punya hati nurani lagi? Tentu agak sulit untuk menjustifikasi hal ini. Apalagi Israel selalu mengaitkan penyerangan terhadap Palestina kepada doktrin agama. Sementara banyak pakar mengatakan “Semua Agama mengajarkan manusia untuk berbuat kebaikan”. Tentu melukai dan membunuh bukanlah sesuatu yang baik dalam agama.

Inilah yang akan coba penulis elaborasi lebih jauh, yakni problematika fungsi agama dalam mencapai ketentraman hidup manusia di atas dunia dengan mengambil perspektif William James yang dikenal sebagai tokoh Pragmatisme. William James (1842-1910) adalah ahli psikologi dari Universitas Harvard, yang juga dikenal sebagai seorang filsuf Pragmatis bersama Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan John Dewey (1859-1952).
Menurut The Internet Encyclopedia of Philosphy, Pragamatisme adalah “A philosophical movement that includes those who claim that an ideology or proposition is true if it works satisfactorily, that the meaning of a proposition is to be found in the practical consequences of accepting it, and that unpractical ideas are to be rejected” (sebuah gerakan filsafat yang mengklaim bahwa idelogi atau proposisi/pernyataan bisa dikatakan benar jika bekerja dengan memuaskan, artinya sebuah proposisi dapat ditemukan konsekuensi praktis/manfaatnya dalam kenyataan, dan ide-ide yang tidak bermanfaat akan ditolak).

Pembahasan

Kita hidup dalam Pluralitas Agama. Seringkali perbedaan ini menimbulkan sengketa tak kunjung selesai. Betapa banyak perang yang mengorbankan nyawa manusia karena doktrin agama yang melegalkan pembunuhan “atas nama Tuhan”. Perang suci (Holy War) yang terkenal tercatat dalam sejarah adalah pertikaian antara 3 agama yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam banyak kesempatan Yahudi dan Kristen sering berelaborasi menghadapi Islam.

Menurut hemat penulis, suatu pertingkaian dapat dikatakan sebagai Perang Agama ketika melibatkan umat agama yang berbeda dan mendasarkan diri pada doktrin-doktrin agama. Dalam konteks apa yang terjadi di jalur Gaza beberapa minggu ini dapat dirujuk pada apa yang di sampaikan oleh Paul Findley, mantan Anggota Kongres AS yang tekun mempelajari tentang sepak terjang bangsa Yahudi, khususnya yang berkaitan dengan konflik Palestina-Israel. Pendirian negara Israel yang diproklamirkan pada 14 Mei 1948, dan rangkaian panjang penyerangan Israel terhadap Negara Palestina menurut Findley diklaim Israel atas 3 dasar: “warisan Perjanjian Lama dari Kitab Injil, Deklarasi Balfour yang diumumkan Inggris Raya 1917, dan pembagian Palestina menjadi negara Arab dan Yahudi yang direkomendasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1947” (Findley, 1995; hal 23).

Warisan Perjanjian Lama dari Kitab Injil dapat kita lihat salah satunya pada Kitab Kejadian 15:18, “Pada hari itu Tuhan membuat perjanjian dengan Ibrahim melalui firman, ‘Untuk keturunanmu Aku berikan Tanah ini, dari sungai Mesir hingga sungai Eufrat.’ “ (Findley, 1995; 23).

Pernyataan ini diamini oleh Pendeta Nasrani Hans Jefferson, pengkhotbah yang juga Pimpinan Yayasan Kasih Untuk Bangsa dalam sebuah wawancara dengan Radio Nederland Wereldomroep 5 Januari 2009. Ia mengatakan, apa yang dilakukan Israel bukanlah penjajahan.

“Tidak ada satu kekuatan pun di dunia ini, apalagi dari pihak internal Kristen yang mengobah pandangan bahwa Kanaan atau Israel sekarang adalah bukan Tanah Perjanjian. Yang disebut Tanah Perjanjian karena Kejadian pasal 12, Tuhan, Jahweh Elohim berjanji kepada Abraham untuk memberikan tanah itu kepada keturunannya. Dan tanah itu digenapi oleh Tuhan, Jahweh Elohim, disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakob pada jaman Musa keluar dari Mesir dengan umat Israel sampai di gunung Nebo dan Yosua melanjutkan kepemimpinan dan menguasai tanah itu.

Jadi Israel bukan memiliki tanah itu baru 14 Mei 1948. Bukan. Tanah perjanjian itu sudah dimiliki Israel dari jaman Nabi Musa. Bukan baru sekarang. Jadi kalau orang bilang Israel mencaplok tanah Arab, tanah Palestina 14 Mei 1948, orang itu tidak tahu sejarah. Kalau dia tahu sejarah, tanah itu sudah menjadi milik Israel dari zaman Musa. Tidak ada yang bisa merubah itu. Sampai kapan pun juga.

Hanya Tuhan pakai Amerika, pakai Inggris, pakai PBB untuk mengembalikan Israel ke Tanah Perjanjian 14 Mei 1948. Dan ingat, Israel bukan merdeka karena Israel tidak pernah dijajah. Israel kembali ke tanahnya 14 Mei 1948 untuk memberikan negara Israel dalam konteks pemerintahan dunia hari ini.” (http://hidayatullah.com edisi online 7 Januari 2009).

Tepukan ini akhirnya berbunyi, ketika Umat Islam juga mengemukakan justifikasi teoogis dengan menyatakan bahwa Palestina adalah tanah suci karena di sanalah berdiri Masjidil Aqsa yang merupakan kiblat pertama umat Islam dan dari sanalah Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam naik menuju Tuhan dalam perjalanan monumental Isra’ Mi’raj. Dan keirian dan kedengkian Yahudi atas pemilikan mereka selama ini atas bumi Palestina merupakan gambarkan yang jelas sebagaimana difirmankan Tuhan dalam Surat Al Baqarah ayat 120: “Dan Mereka orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela (senang) kepada kalian (umat Muslim) hingga kalian mengikuti kehendaknya.”

Darah yang tertumpah karena justifikasi agama ini telah membuat pembela humanitas dan perdamaian merasa risih dan berpandangan negatif terhadap agama-agama yang ada terutama agama Semit (Yahudi, Islam, dan Kristen). Sehingga ada yang dari kelompok ini menawarkan Humanisme sekular demi keselamatan dunia. Ada juga yang mengkampanye Teologi Global seperti Wilfred Cantwell Smith dan John Hick.

Menurut Smith, manusia yang hidup dengan keberagaman agama dan kepercayaan sampai saat ini belum bisa hidup rukun. “Kita harus mempelajari tugas baru kita untuk hidup bersama sebagai patner dalam dunia yang multi-religius dan multi-kultural… selama manusia tidak bisa belajar saling pengertian dan mencintai satu sama lain secara lintas batas agama, dan selama kita tidak bisa membina suatu dunia yang mana di dalamnya seluruh manusia dari berbagai agama dan keyakinan bisa hidup bersama dengan damai, maka masa depan palnet kita ini tidak akan cerah.” (Thoha, 2005; hal 71-72).

Pandangan William James tentang Pragmatisme Agama

Menyaksikan pertumpahan darah atas dasar agama yang hari ini kembali dipertontonkan oleh Israel (Yahudi) telah membuat perasaan miris yang begitu mendalam. Namun apakah kita harus menyesali keberadaan begitu banyaknya agama sekte dan kepercayaan? Dengan tegas William James mengatakan ‘Tidak’. James menuturkan,

“Saya tidak dapat memahami bagaimana mungkin individu-individu manusia dengan kondisi dan kekuatan berbeda harus memiliki fungsi dan tugas yang sepenuhnya identik. Tidak ada dua orang di antara kita yang memiliki masalah yang identik, dan kita juga tidak bisa berharap untuk mendapatkan pemecahan yang identik” (James: 622-623).

Masing-masing manusia unik dalam menghadapi realita. Ini bukan karena hanya diakibatkan oleh fakta yang ditemui berbeda, namun lebih kepada kemampuan manusia menangkap dan merespon apa yang terjadi. Bisa jadi terjadi perbedaan penafsiran atas realita yang sama. Sebagaimana disampaikan oleh James, “Setiap orang, dari sudut pandang masing-masing, mendapatkan bagian tertentu dari fakta dan masalah, dan masing-masing dari kita harus menghadapinya dengan cara khas. Salah satu dari kita harus melunakkan diri, yang lain harus tetap di tempat – untuk mempertahankan posisi yang ditugaskan kepadanya dengan baik” (James: 623).

Termasuk juga pencitraan manusia terhadap Tuhan. Terjadi diversifikasi penangkapan manusia terhadap realitas Tuhan. “Satu Dewa Perang bisa menjadi Tuhan bagi jenis manusia tertentu, sementara Dewa Perdamaian, Dewa Surga,dan Dewa Rumah menjadi Tuhan bagis jenis manusia lain” (James: 623).

Berangkat dari kenyataan ini maka James mengajak kita untuk sadar untuk menerima keyakinan orang lain sebagai dinamika religius. Karena pengalaman jiwa terkait dengan kondisi tempat masing-masing kelompok atau individu. “Kita harus jujur dalam memahami fakta bahwa kita tinggal dalam sistem-sistem parsial, dan bahwa dalam kehidupan spiritual bagian-bagian ini tidak dapat saling dipertukarkan”.

Jika demikian maka konflik atas nama agama sesungguhnya telah menciderai keunikan jiwa manusia. Kita hidup dengan pengalaman masing-masing sehingga kekerasan agama yang terjadi adalah sebuah bentuk ketidakpahaman orang akan makna religiusitas dan pengabaian terhadap sikap terbaik yaitu penoleransian atas perbedaan.

Problematika ini konflik atas dasar agama ini menjadi dilematis ketika agama merupakan bagian dari takdir dan konstruk sosial masyarakat. Bukankah sebagian besar orang beragama karena faktor keluarga dan lingkungannya? Ketika manusia tidak mengerti kenapa dia hadir di dunia dengan bentuk fisik sedemikian rupa, terikat dalam konstruk sosial dan budaya yang mesti dia patuhi, dan keharusan untuk mempertahankan hidup dari penderitaan, maka agama sebagai hal metafisik menjadi hal menarik bagi manusia. “Titik pusat perputaran kehidupan keagamaan adalah minat individu terhadap takdir pribadinya. Singkatnya, agama adalah sebuah babak monumental dalam sejarah egoistisme manusia. Semua Tuhan yang diimani manusia – baik oleh orang-orang primitif maupun orang-orang yang memiliki intelektualitas yang berdisiplin – menyepakati pengakuan akan panggilan pribadi (James: 626-627).”

Tidak hanya karena konstruk sosial, agama kemudian menjadi batu sandaran bagi manusia atas ketakutannya akan gelapnya masa depan. Agama memberikan jawaban atas kegelisahan manusia yang semakin menjadi-jadi disebabkan ia tidak pernah tahu bagaimanakah nasib yang akan mendatangi di masa depan. Pertanyaan akan keberadaan dirinya membuat manusia terus secara kreatif mengembangkan potensi yang dia miliki demi pencapaian eksistensi diri. “Pada setiap orang ada sebuah perasaan tak terbagi, yaitu kerisauan akan nasibnya sebagai individu, ketika secara pribadi ia merasakan nasibnya berputar di roda nasib. Perasaan ini bisa dicemooh sebagai egotisme atau tidak ilmiah. Namun, inilah yang memberikan aktualitas konkret pada diri kita. Dan, bakal-eksistensi manapun yang tidak memiliki perasaan semacam itu atau yang setara dengan itu, akan menjadi sekeping realitas setengah jadi (James: 631).”

Pertanyaan akan takdir diri telah membawa manusia pada keyakinan religius dan hidup dengan aturan-aturan agama. James mengatakan: “Bagaimanapun cara kita menjawab berbagai pertanyaan partikular yang terkait dengan takdir individual kita, sesungguhnya hanya dengan mengakui pertanyaan-pertanyaan itu sebagai pertanyaan yang sungguh dan dengan mengalami lingkungan pemikiran yang membangkitkan mereka, maka kita bisa menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut secara mendalam. Akan tetapi, mengalami lingkungan seperti itu berarti hidup secara religius. Maka, tanpa ragu-ragu menolak teori yang menyatakan agama sebagai tindak bertahan hidup, karena teori tersebut didasarkan atas kekeliruan luar biasa. James: 632).”

Pemeluk agama tentu setuju dengan pandangan James bahwa agama bukanlah sekedar upaya bertahan hidup. Lebih dari itu agama telah memberikan ketenangan bagi manusia atas kenyataan hidup yang dihadapinya. Penderitaan hanyalah bagian dari ujian dari Tuhan untuk meningkatkan iman, keadilan Tuhan akan tegak setelah hari kiamat, dan ada sorga tempat segala kenikmatan telah memberikan optimisme di setiap dada orang-orang beriman.

Kesimpulan

Kehadiran manusia di dunia merupakan kisah yang terus menjadi misteri. Dari dulu sampai sekarang para pemikir mencoba untuk memecahkan misteri ini. Diskursus ini menjadi rasionalistik ketika hidup dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan spesies manusia di muka bumi. Kebinggungan manusia akan eksistensi dirinya coba dipecahkan oleh agama. Diyakini sebagai sesuatu yang eksternal, agama sepanjang sejarah dapat dikatakan mampu membuat manusia sedikit nyaman atas pertanyaan siapa aku?

Dari Timur hingga Barat, agama telah menjadi oase bagi kehausan jiwa manusia sejak manusia primitif sampai hari ini. Meski perjalanan dunia juga dihiasi oleh komunitas Atheistik, namun sampai hari agama tetap superior dalam keseharian manusia.

Agama bukanlah sekedar upaya manusia mempertahankan hidupnya yang selalu dibayangi-bayangi penderitaan dan kesedihan. Karena asumsi agama sebagai cara mempertahankan hidup adalah pandangan pesimistik yang mengerogoti otonomi manusia yang ada pada perasaan dan tubuhnya. Ketika agama menjadi monster yang membanjiri bumi ini dengan lautan darah, maka esensi agama sebagai pembawa kebaikan bagi umat manusia menjadi kontradiktif. Sudah saatnya bagi pemeluk masing-masing agama untuk merubah cara pandang “melegalkan pertumpahan darah atas nama Tuhan”. Karena akal sehat orang awampun akan mengatakan bahwa tak mungkin Tuhan menfirmankah hal-hal yang melegalkan penindasan dan pembunuhan antara sesama makhluk ciptaannya.

Agama bagi James bersifat subjektif. Religiusitas adalah rasa terdalam jiwa manusia. Sehingga agama cendrung bersifat subjektif. Ketika diletakan sebagai hal yang subjektif maka kebenaran religius sangat tergantung kepada masing-masing orang. Oleh karena itu, sangatlah tidak bijaklah mendasarkan perbuatan nista kepada Tuhan. Dalam terminologi James, “manusia mestilah menganut agama cinta”. Beragama dengan memuarakannya bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada aspek perdamaian dan keselamatan bagi kelansungan spesies manusia di dunia ini.[Gunawan]

Daftar Pustaka

James, William. Edisi I November 2004. The Varieties of Religious Experience: Perjumpaan dengan Tuhan. Terjemahan Gunawan Admiranto. Penerbit Mizan; Bandung.

Editor. 2006. Pragmatism. The Internet Encyclopedia of Philosophy; http://www.iep.utm.edu/p/pragmati.htm.

Editor. Rabu 7 January 2009 06:28. Pendeta Hans Jefferson: “Secara batin, umat Kristen di seluruh dunia pasti berdoa buat Israel”. Hidayatullah Online; http://hidayatullah.com. index.php?option=com_content&view=article&id=8359:2009-01-06-23-31-57&catid=71:wawancara&Itemid=73

Findley, Paul. 1995. Diplomasi Munafik Yahudi: Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel. Terjemahan Rahmani Astuti. Penerbit Mizan; Bandung.

Thoha, Anis Malik. 2006. Tren Pruralisme Agama: Tinjauan Kritis. Penerbit Perspektif; Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar