Senin, 01 November 2010

Oleh-oleh Kuliah S2 Minggu Pertama

Seorang guru besar bergelar Profesor doktor dengan enteng menjawab saat kami ingatkan bahwa saat ini adalah waktunya dia mengajar. "Santai saja lah, nggak usah terlalu semangat" katanya. Saya kemudian bertanya lagi, "jadi jam berapa bapak bisa masuk"? Diapun menjawab, "nanti jam 12 siang," jawabnya. Dan saat jam 12 siang tiba, seorang kawan mahasiswa yang dipercaya menyusul guru besar itu mengabarkan bahwa, pak Profesor tak bisa masuk, dia mengaku cape baru selesai menguji tesis, Rabu (29/9).

Sehari sebelumnya, Selasa (28/9) seorang yang juga bertitel guru besar bergelar profesor Doktor...dengan santai pula menyatakan tak bisa mengajar karena ada rapat dengan MUI di Jakarta. Saat dihubungi lewat telepon selularnya, dia berjanji akan masuk besok, (hari ini Rabu, jam 10. Ujung-ujungnya, guru besar ini juga tak masuk tanpa alasan yang jelas. (Mun keur SD mah teu asup tanpa alasan yang jelas teh sok ditulis di na bor ALFA)


Awalnya, saya tidak terlalu memikirkan janji guru besar itu yang akhirnya juga tidak ditepatinya. Namun, setelah itu jadi kepikiran. Saya pun kemudian menduga-duga, Jangan-jangan perilaku seperti inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia nyaris tak pernah beranjak dari berbagai krisis termasuk krisis moral yang kian merosot. 

Bagaimana tidak, ada ratusan bahkan ribuan atau bahkan ratusan ribu perguruan tinggi dari mulai yang paling bergengsi hingga yang paling ecek-ecek di negeri ini. Namun faktanya, sampai saat ini jebolan PT itu (para akademisi ini) gagal --kalau tidak mau dikatakan tidak mampu---membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Lebih parahnya, mungkin jebolan para akademisi inilah yang membuat bangsa ini nyaris tak pernah beranjak dari kubangan krisis.   Tak bisa dipungkiri, sebagai salah satu lembaga akademik yang mempersiapkan para generasi penerus bangsa, yang sudah begitu terbiasa bergulat dengan teori-teori besar dan hebat ternyata juga sudah sangat terbiasa memberikan contoh kurang baik dengan menyepelekan sesuatu yang sebenarnya sangat penting, seperti halnya mengajar untuk para guru besar dan dosen. Saya yakin, karena ini juga mahasiswanya menjadi sangat terbiasa bolos.

Padahal saya sangat yakin, di kalangan akademisi mayoritas --kalau tidak mau dikatakan semuanya--meyakini bahwa sesuatu yang hebat dan prestisius diawali dengan hal-hal kecil.

Nah jika mengajar yang merupakan sebuah kewajiban adalah pekerjaan pokok yang mengakibatkan negara bertanggung jawab dan wajib menanggung biaya hidup dia (dosen) dan juga keluarganya serta bahkan kesejahteraan dan juga kesehatan atau keselamatannya menjadi tanggung jawab negara kemudian dianggap hal sepele dan karena itu meninggalkannya --karena terlalu sering maka tak lagi terasa sebagai perbuatan dosa...adalah omong kosong jika kemudian berharap mampu melahirkan jebolan akademisi yang mampu membawa bangsa ini menjadi bermartabat dan bermoral dalam pandangan bangsa-bangsa lain di dunia.

Jika kondisinya sudah seperti ini, ratusan atau bahkan jutaan akademisi jebolah Perguruan Tinggi sangat wajar dipandang tak lagi bisa diandalkan membangun sebuah peradaban yang tinggi.Sebaliknya, mereka juga dianggap sebagai bagian dari kehancuran dan kemerosotan moral.

Namun memang sepertinya sudah ada idiom yang terlanjur diyakini yang mengatakan bahwa menjadi mahasiswa tidak seperti saat duduk dibangku Sekolah. Mahasiswa harus lebih aktif, kreatif dan oleh dirinya, dengan kemampuannya harus belajar sendiri, mencari sendiri. Dengan demikian, seperti dimaklumi bersama saat dosen tidak masuk adalah sesuatu yang sangat wajar dan tidak perlu disoal.

Lebih parahnya, pola belajar yang muncul kemudian menjadi sangat unik di mana hubungan mahasiswa dan dosen apalagi guru besar bak hubungan antara atasan dengan bawahannya. Tak ada lagi pola belajar dan mengajar. Mahasiswa hanya berhak atas tugas-tugas yang diberikan dosennya, setelah itu dengan seenaknya dosen menyatakan tidak akan masuk sampai tiba waktunya ujian..welleh..welleh....naon teorina nyak belajar jiga kieu.   

Pertanyaannya, benarkah seperti itu pola belajar ideal di perguruan tinggi??? kalau benar teori pendidikan mana yang mengatakan harus seperti itu. (yang punya jawaban tolong kirimkan ke saya)

Dan yang paling penting, karena pola belajar dan mengajarnya seperti itu maka jangan heran kalau kemudian di antara kami (para mahasiswa) terdorong untuk akal-akalan juga. "tak perlu repot-repot baca buku untuk bikin makalah, cukup nyuruh saja, dan cing cai.....sampe wisuda dengan gelar MAGISTER,,,,huebat kan? Dan jangan juga salahkan kami, jika setelah lulus nanti kami terus menerus melakukan PRAKTEK CINGCAI karena kami terlanjur diberi contoh atau dikondisikan seperti ini di Perguruan Tinggi.(Nurholis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar