Senin, 22 November 2010

William James Mencandra Relasi Manusia dan Agama

William James dilahirkan di New York pada tanggal 11 Januari 1842 dan dibesarkan dalam suatu keluarga cendekiawan yang sejak lama menaruh perhatian pada agama dan hal-hal yang bersifat keruhanian. 

Kakeknya, William James pula namanya, adalah seorang imigran asal Irlandia yang berkat kerja kerasnya berhasil membangun usaha di Amerika Serikat sehingga keluarganya hidup berkecukupan. Kakeknya  adalah penganut agama Presbystarian, suatu aliran garis keras dalam agama Nasrani yang cenderung serba formal dalam menerapkan asas-asas keagamaan kepada jemaahnya.


Berbeda dengan kakeknya, ayahnya, Henry James mengembangkan sikap demokratis. Ia lebih menghargai dan menyukai penghayatan pribadi yang unik, khas dan mendalam daripada mengikuti aturan-aturan institusional yang serba formal. Ia pun berusaha menanamkan nilai-nilai demokratis, agamis dan mengharapkan agar anak-anaknya kelak menjalani hidup sebagai cendekiawan, republikan dan kosmopolit.

jamesPola asuh ini sangat mempengaruhi kehidupan dan sikap pribadi James di kemudian hari, yakni kurang menyukai aturan-aturan yang serba formal dan otoriter. Ia juga tidak menyukai pembatasan yang terlalu kaku antardisiplin ilmu dan peran lembaga keagamaan yang menganggap dirinya berwenang sebagai perantara ruhaniah antara Tuhan dan manusia.

William James memulai kegiatan akademiknya di Harvard dengan mempelajari ilmu kedokteran. Kemudian, ia mempelajari fisika, psikologi dan filsafat. Tentu saja ketika itu William James masih berada di bawah pengaruh langsung pemikir-pemikir Universitas Harvard.

Ketika studinya selesai, William James menjadi dosen di Harvard dalam bidang kedokteran, psikologi dan kemudian juga filsafat. Selain di Amerika, Willian James juga mengajar di Inggris, Oxford dan Edinburgh. Ia sekaligus seorang seniman dan pemikir tentang Tuhan. Di samping itu, James dapat disebut sebagai tokoh pertama yang mempopulerkan pragmatisme dan sekaligus menjadikannya sebagai mazhab filsafat yang hampir dapat dijadikan tumpuan dan pegangan kebanyakan orang Amerika.

Psikologi telah membawa James ke alam filsafat sehingga ia beralih mempelajari banyak problematika agama dan metafisika. Maka, terbitlah karya besarnya The Will to Believe 1897, serta The Varieties of Religious Experiences (1902). Kemudian pada tahun 1907, terbitlah bukunya yang terkenal, Pragmatism. James juga telah membukukan karya ilmiahnya tentang problematika filsafat dengan judul  The Meaning of the Truth tahun 1909 dan Pluralistic Universe tahun 1909.

William James menjadi dosen filsafat di Universitas Harvard selama kurang lebih 31 tahun dan meninggal dunia tahun 1910, setelah filsafat Pragmatismenya tersebar luas di Amerika dan Eropa. Buku-bukunya yang diterbitkan setelah ia meninggal antara lain: Some Problems in Philoshophy (1911) dan Essays in Radical Empirism (1912).

Pengalaman Religius Ala William James
James menulis banyak buku, namun yang paling terkenal adalah The Varieties of Religion Experience: A Study in Human Nature. Buku tersebut sebenarnya merupakan materi kuliah  yang disampaikan James sebagai Guru Besar di Universitas Edinburg, Scotlandia tahun 1901-1902. Karya tersebut mendapat tanggapan luar biasa dan dianggap sebagai perintis perkembangan psikologi agama di Amerika Serikat, sehingga sampai dicetak ulang berkali-kali. Meskipun telah berusia seabad lebih, karya ini tetap dianggap relevan. Dalam edisi terjemahan Bahasa Indonesia, buku tersebut berjudul “Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia” (2004).

James melihat bahwa agama hanya berarti apabila dialami sebagai pengalaman pribadi. Artinya, ada pengalaman pribadi yang bisa diterangkan dengan menggunakan simbol-simbol dari agama tertentu yang dihayati sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisahkan lagi dari narasi kehidupan seseorang. Agama dalam arti itu tidak lagi berputar pada segi argumentasi belaka, tetapi sudah masuk ke dalam kesaksian pribadi tentang bagaimana sosok imanen dan transenden yang dinamakan “Tuhan” telah beraksi secara konkrit dalam kehidupan pribadi seorang penganut agama.

Menurut James, ajaran agama adalah suatu wadah dialog antara penganut dan sesuatu yang dipercayainya sebagai “Tuhan.” Harus ada dialog berupa pengalaman pribadi. Apabila itu tidak ada, maka yang terjadi adalah seperti orang buta yang menuntun orang buta. Seperti menggunakan buku penuntun doa untuk memimpin orang-orang lain yang membeo di belakangnya. Hasilnya, tidak akan dimengerti, dan gunanya juga tidak diketahui. Paling jauh orang itu hanya akan membuka buku lain lagi untuk memperoleh jawabnya, atau bertanya kepada orang lain yang dianggap mengerti.

Ada dua kategori penghayat agama yang dikemukakan oleh James, yakni manusia yang lahir dua kali (twice born) dan manusia yang lahir satu kali (once born). Manusia yang lahir dua kali adalah manusia yang mengalami suatu pengalaman religius traumatis: suatu perjumpaan pribadi dengan yang absolut. Setelah hal traumatis berupa pengalaman religius yang menggoncangkan itu dialami, subyek akan berubah total. Berubah total menjadi orang yang percaya penuh bahwa “Tuhan” memang berperan dalam hidupnya dan bahwa ada misi tertentu pada hidupnya.

Tuhan tidak lagi menjadi kata kosong seperti yang dialami oleh sebagian besar dari kita, tetapi merupakan kata penuh makna yang terkait erat dengan hidupnya hari per hari, menit per menit, detik per detik. Tuhan hidup dalam diri subyek.

”Bagi mereka, Ia adalah personifikasi dari kebaikan dan keindahan. Mereka membaca sifat-sifatNya bukan dalam dunia manusia yang kacau balau, melainkan dalam alam yang romantis dan penuh dengan keselarasan. Mereka mungkin kurang mengenal dosa-dosa manusia, baik dalam hati mereka sendiri maupun pada dunia mereka; dan penderitaan manusia hanya melembutkan hati mereka. Oleh karena itu, jika mereka mendekati Tuhan, tidak timbul pergolakan batin. Dalam diri mereka. Dan, tanpa perlu menjadi spiritual, mereka memiliki semacamrasa puas diri dan mungkin perasaan kegembiraan yang romantis dalam sikap pemujaan mereka.”

Manusia yang lahir satu kali adalah mereka yang tidak pernah mengalami pengalaman relijius traumatis. Hidup berjalan sebagaimana adanya tanpa merasa perlu adanya intervensi Tuhan dalam kehidupan pribadi. Tanpa merasa perlu adanya intervensi yang benar-benar terasakan bahwa “Tuhan” berbicara kepada subyek dengan kata-kata yang jelas dan tidak bisa diartikan lain. Karena tidak ada keinginan dan harapan bahwa Tuhan perlu hadir secara pribadi, maka kehidupan subyek akan berjalan seperti itu saja selama hidupnya. Mungkin mereka religius, tetapi religius suam-suam kuku saja.

Tidak ada yang istimewa, semuanya seperti terstruktur dalam buku petunjuk. Hidup seperti apa adanya. Gembira bila sedang gembira, dan sedih bila sedang sedih.

Beragama dalam Keberagaman
William James juga menyoroti tentang pertikaian yang sering terjadi atas dasar agama, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah. Timbul pertanyaan, apakah kita harus menyesali keberadaan begitu banyaknya agama, sekte dan kepercayaan? Dengan tegas James menjawab ’tidak.’ Ia menuturkan: “Saya tidak dapat memahami bagaimana mungkin individu-individu manusia dengan kondisi dan kekuatan berbeda harus memiliki fungsi dan tugas yang sepenuhnya identik. Tidak ada dua orang di antara kita yang memiliki masalah yang identik, dan kita juga tidak bisa berharap untuk mendapatkan pemecahan yang identik. ” Masing-masing manusia unik dalam menghadapi realita. Ini bukan karena hanya diakibatkan oleh fakta yang ditemui berbeda, namun lebih kepada kemampuan manusia menangkap dan merespon apa yang terjadi. Bisa jadi terdapat perbedaan penafsiran atas realita yang sama. Sebagaimana disampaikan oleh James, “Setiap orang, dari sudut pandang masing-masing, mendapatkan bagian tertentu dari fakta dan masalah, dan masing-masing dari kita harus menghadapinya dengan cara khas. Salah satu dari kita harus melunakkan diri, yang lain harus tetap di tempat – untuk mempertahankan posisi yang ditugaskan kepadanya dengan baik.”

Termasuk juga pencitraan manusia terhadap Tuhan. Terjadi diversifikasi penangkapan manusia terhadap realitas Tuhan. “Satu Dewa Perang bisa menjadi Tuhan bagi jenis manusia tertentu, sementara Dewa Perdamaian, Dewa Surga,dan Dewa Rumah menjadi Tuhan bagis jenis manusia lain.”
Berangkat dari kenyataan ini maka James mengajak kita untuk sadar untuk menerima keyakinan orang lain sebagai dinamika religius. Karena pengalaman jiwa terkait dengan kondisi tempat masing-masing kelompok atau individu. “Kita harus jujur dalam memahami fakta bahwa kita tinggal dalam sistem-sistem parsial, dan bahwa dalam kehidupan spiritual bagian-bagian ini tidak dapat saling dipertukarkan.”

Konflik atas nama agama sesungguhnya telah menciderai keunikan jiwa manusia. Kita hidup dengan pengalaman masing-masing sehingga kekerasan agama yang terjadi adalah sebuah bentuk ketidakpahaman orang akan makna religiusitas serta pengabaian terhadap sikap terbaik yaitu toleransi atas perbedaan.

Konflik atas dasar agama ini menjadi dilematis ketika agama sebagai bagian dari takdir dan konstruk sosial masyarakat. Bukankah sebagian besar orang beragama karena faktor keluarga dan lingkungannya? Ketika manusia tidak mengerti kenapa dia hadir di dunia dengan bentuk fisik sedemikian rupa, terikat dalam konstruk sosial dan budaya yang mesti dia patuhi, dan keharusan untuk mempertahankan hidup dari penderitaan, maka agama sebagai hal metafisik menjadi hal menarik bagi manusia. “Titik pusat perputaran kehidupan keagamaan adalah minat individu terhadap takdir pribadinya. Singkatnya, agama adalah sebuah babak monumental dalam sejarah egoisme manusia. Semua Tuhan yang diimani manusia—baik oleh orang-orang primitif maupun orang-orang yang memiliki intelektualitas yang berdisiplin—menyepakati pengakuan akan panggilan pribadi.”

Tidak hanya karena konstruk sosial, agama kemudian menjadi batu sandaran bagi manusia atas ketakutannya akan gelapnya masa depan. Agama memberikan jawaban atas kegelisahan manusia yang semakin menjadi-jadi disebabkan ia tidak pernah tahu bagaimanakah nasib yang akan mendatangi di masa depan. Pertanyaan akan keberadaan dirinya membuat manusia terus secara kreatif mengembangkan potensi yang ia miliki demi pencapaian eksistensi diri.

Pertanyaan akan takdir diri telah membawa manusia pada keyakinan religius dan hidup dengan aturan-aturan agama. James mengatakan bahwa bagaimanapun cara kita menjawab berbagai pertanyaan partikular yang terkait dengan takdir individual kita, sesungguhnya hanya dengan mengakui pertanyaan-pertanyaan itu sebagai pertanyaan yang sungguh-sungguh dan dengan mengalami lingkungan pemikiran yang membangkitkan mereka, maka kita bisa menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut secara mendalam. Akan tetapi, mengalami lingkungan seperti itu berarti hidup secara religius. Maka, tanpa ragu-ragu menolak teori yang menyatakan agama sebagai tindak bertahan hidup, karena teori tersebut didasarkan atas kekeliruan luar biasa.

Agama bukanlah sekedar upaya manusia mempertahankan hidupnya yang selalu dibayangi-bayangi penderitaan dan kesedihan. Karena asumsi agama sebagai cara mempertahankan hidup adalah pandangan pesimistik yang menggerogoti otonomi manusia yang ada pada perasaan dan tubuhnya. Ketika agama menjadi monster yang membanjiri bumi ini dengan lautan darah, maka esensi agama sebagai pembawa kebaikan bagi umat manusia menjadi kontradiktif. Sudah saatnya bagi pemeluk masing-masing agama untuk merubah cara pandang “melegalkan pertumpahan darah atas nama Tuhan.” Karena akal sehat orang awam pun akan mengatakan bahwa tak mungkin Tuhan memfirmankah hal-hal yang melegalkan penindasan dan pembunuhan antara sesama makhluk ciptaannya.

Agama bagi James bersifat subjektif sebab religiusitas adalah rasa terdalam jiwa manusia. Ketika diletakkan sebagai hal yang subjektif maka kebenaran religius sangat tergantung kepada masing-masing orang. Oleh karena itu, sangatlah tidak bijak bila mendasarkan perbuatan nista kepada Tuhan. Dalam terminologi James, “manusia mestilah menganut agama cinta.” Beragama dengan memuarakannya bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada aspek perdamaian dan keselamatan bagi kelangsungan spesies manusia di dunia ini.

Bahkan Wilfred Cantwel Smith (1916-2000) sampai mengampanyekan Teologi Global demi melihat banyak terjadi pertikaian yang mengatasnamakan agama. Menurutnya, manusia yang hidup dengan keberagaman agama dan kepercayaan, sampai saat ini belum bisa hidup rukun. “Kita harus mempelajari tugas baru untuk hidup bersama sebagai patner dalam dunia yang multi-religius dan multi-kultural. Selama manusia tidak bisa belajar saling pengertian dan mencintai satu sama lain secara lintas batas agama, dan selama kita tidak bisa membina suatu dunia yang mana di dalamnya seluruh manusia dari berbagai agama dan keyakinan bisa hidup bersama dengan damai, maka masa depan planet kita ini tidak akan cerah.”

Pada Akhirnya James sampai pada kesimpulan bahwa dunia nyata ini adalah bagian dari dunia spiritual yang lebih luhur tingkatanya dan memberi makna pada dunia nyata. Hubungan selaras antara keduanya adalah tujuan hakiki manusia. Dalam hal ini, doa merupakan penyatuan batin dengan ruh (Tuhan) yang dapat mengalirkan energi spiritual. Energi spiritual ini mempunyai pengaruh psikologis seperti semangat, kesungguhan, heroisme, pesona, kedamaian dan kasih sayang.[M Yudhie Haryono]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar