Rabu, 10 November 2010

Ninian Smart; Dimensi-Dimensi Agama

Berdasarkan defenisi atau pemahaman agama sebagaimana yang pernah kita dengar, maka kita dapat membahas agama pada dua perspektif, yaitu agama menurut dirinya dan agama menurut pemeluknya.

Kalau memakai bahasa Immanuel Kant agama menurut dirinya itu adalah das ding an sich, adalah agama yang objektif atau agama yang hanya dapat dipahami menurut dirinya. Karena itu, tidak bisa mengukurnya berdasarkan ukuran kita. Agama yang das ding an sich itu tidak mungkin bisa dimengerti keseluruhannya, sebab kita hanya selalu di luar. Inilah yang menjadi dasar dari cara memahami agama atau dalam kajian studi agama.


Dalam hal ini, kita akan mengkaji dimensi agama menurut pemeluknya atau menurut manusia tentang agamanya, atau agama menurut di luar diri agama itu sendiri. Supaya lebih mengkerucut, maka pembahasan ini akan difokuskan pada dimensi agama menurut Ninian Smart dan penjabaran singkatnya.

Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami, dan mendalami gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan. Sebab, dalam realitasnya bagi kehidupan manusia, kehadiran agama adalah sebatas pada gejala-gejala agama dan keagamaannya itu, yang dari gejala agama serta fenomena keagamaan itulah manusia mengekspresikan religiusitasnya sehingga ia kemudian disebut “beragama”. Hal ini mengharuskan adanya unsur penelitian atas aspek-aspek suatu agama secara mendalam, terutama yang terkait dengan simbolitas keagamaan.

Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama sebagai refleksi tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud dalam tindakan kolektivitas dan bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut sebagai bentu dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan menjadi beberapa dimensi religiositas, yaitu
1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama menjadi religious atau tidak religious.
2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematian.
3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system kepercayaan dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang menganut system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.

Roland Cavanagh mengemukakan bahwa agama merupakan berbagai macam ekspresi simbolik tentang dan respon tepat terhadap segala nilai yang tidak terbatas bagi mereka (Cavanagh, 1978: 20). Definisi ini memang terlalu umum sehingga perlu batasan-batasan tertentu. Yang tampaknya paling tepat dalam pemberian batasan ini adalah apa yang dikemukakan Charles Glock dan Rodney Stark yang mengidentifikasi lima dimensi saling berbeda, namun hanya dengan kelimanya seseorang disebut “religious”: eksperimental, ideologis, ritualistic, intelektual, dan konsekuensional (Holm, 1977: 18).

Sebelum masuk pada rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama, Joachim Wach menguraikan dengan sangat mendalam tentang hakekat keberagamaan (relihious experience), yaitu: 1) doktrin, dogma, dan mite (Thought), 2) upacara agama dan pengabdian (Practive), dan 3) organisasi atau kelompok-kelompok agama (followship) .

Sedangkan Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama, ia menggunakan analisis pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia. Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind (1967) menyebutkan, bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu 1) dimensi praktis atau ritual, 2) naratif atau mistis (Narrative and Mythic), 3) pengalaman dan emosional (Experiential and emotional), 4) dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional), 5) etis atau legal (Ethical and legal), 6) doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical), 7) dan material/bahan.

Dimensi pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam upacara suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian, dan sebagainya yang berkenaan dengan ritualiatas agama. Dimensi kedua, emosional-eksperiensial menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut agama, dan tentunya bervariasi. Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa yang dialami para penganut menimbulkan berbagai macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan, kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan yang membawa pada pertobatan. Topik yang penting dalam dimensi pengalaman keagamaan antara lain yang disebut mistik, di mana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi. Dimensi naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk direnungkan, dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan ataupun kejadian-kejadian yang penting dalam pembentukan agama yang bersangkutan.

Dimensi filosofis-doktrinal adalah dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional, argumentasi, dan penalaran terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan pengertian dari konsep-konsep yang dianut oleh agama itu. Dimensi legal-etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu, pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai pula dengan system penghukuman kalau terjadi pelanggaran. Dimensi sosial-institusional mengatur kehidupan bersama menyangkut kepemerintahan keorganisasian, pemilihan dan penahbisan pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya dimensi material menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau untuk pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan, tempat-tempat ibadah.

Ketujuh dimensi ini dapat diamati dan diteliti dalam perspektif pengalaman keagamaan. Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa ini, di mana persaingan nilai-nilai dalam masyarakat begitu gencar, maka dimensi filosofis-doktriner yang beraturan dengan fungsi apologetic (penjelasan) kiranya merupakan dimensi yang paling penting perannya. Posisi agama dewasa ini berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif menyangkut kepentingan dimensi filosofis-doktriner. Pertama, agama primitif lebih bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang konkret “hic et nunc”, sementara agama dewasa ini lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut prospek dan proyek ke kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk merenungkan asal usulnya agar tidak bergeser dari keasliannya. Bagi agama primitif, barangkali dimensi legal-etis lebih banyak diperlukan untuk pedoman kehidupan. Oleh karenanya, wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif lebih banyak tabu, larangan, dan perintah.

Perbedaan agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta merta menyudutkan agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian (dewasa ini) menghadapi kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, meskipun dimensi legal-etis tetap relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu tidak dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai lain yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu mengembangkan teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini kiranya merupakan bagian dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk mendukung eksistensi agama.

Seorang fenomenolog dan filosof keagamaan tersebut, Ninian Smart, mengidentifikasikan tujuh dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari tataran normatif menjadi historis, yang kemudian memungkinkannya untuk melakukan semua jenis pendekatan pada studi agama, dan juga dalam cara meraih kebenaran dalam berbagai macam agama yang ada.

Rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama tersebut dapat ditemukan pula dan hampir sama dalam pandangan Sartono Kartodirjo, seorang peneliti studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya tentang dimensi-dimensi religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi religiositas sebagai berikut:
1. Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami ketika berkomunikasi dengan realitas supernatural.
2. Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap makhluk gaib dan kehidupan setelah kematian.
3. Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara keagamaan, berdoa, dan berpartisipasi dalam berbagai kewajiban agama.
4. Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang agama. Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama atau berupa ilham langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu.
5. Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan, praktek, dan pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana hubungan agama dengan ilmu? Hemat penulis, ilmu berada di antara dua persoalan dalam agama, yaitu di antara yang sakral dan yang profan. Ilmu merupakan penghubung keduanya, dengan kata lain penghubung antara Tuhan dan Manusia. berkenaan dengan rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama, dapat kita lihat dalam suatu studi kasus atau peristiwa di masa lampau untuk mempermudah pemahaman. Misalnya, pertentangan Galileo dan Gereja Katolik, yang mempersoalkan pusat alam semesta terjadi lebih pada dimensi pertama dan kedua (dan sesungguhnya ada juga unsur politis yang cukup kuat di situ). Selain itu, ada pula persoalan pembacaan yang berbeda atas kitab suci, yang dalam uraian Ninian Smart bisa masuk ke dimensi pertama, kedua, atau kelima. Belakangan ini, di kalangan Kristen dan Islam ada pula kecenderungan untuk mencari kesesuaian ayat-ayat tertentu dalam kitab suci dengan teori-teori ilmiah. Sementara itu, kritik kaum agamawan terhadap pemanfaatan sains (misalnya produksi bom atom dan nuklir; produksi teknologi pencemar lingkungan) atau penelitian ilmiah sendiri (misalnya penggunaan binatang untuk percobaan kimiawi atau biologis; atau manusia sebagai objek eksperimen medis dan psikologis) lebih menitikberatkan pada dimensi ketiga (etis dan legal). Contoh lain pada dimensi ketiga adalah pembicaraan tentang etika lingkungan, atau fiqih lingkungan di kalangan Muslim.

Contoh kasus semacam itu merupakan contoh adanya ketegangan, yang sekaligus menandai adanya titik-titik persentuhan, antara ilmu dan agama. Artinya, pada titik-titik persentuhan itu, kita dapat berbicara juga mengenai kemungkinan melakukan integrasi keduanya.

Dalam teori ilmu (theory of knowledge), satu bagian menjadi tiga bidang bahasan: ontology, epistimologi, dan aksiologi. Ketika kita berbicara mengenai integrasi ilmu dan agama, kita bisa bertanya, integrasi akan dilakukan pada tingkat yang mana? Secara sepintas, kita bisa melihat bahwa para sarjana bidang ilmu dan agama yang berkembang di Barat belakangan ini (seperti Ian Barbour dan John Haught), yang menggunakan istilah “integrasi”, tampaknya lebih cenderung melakukan integrasi pada tingkat ontology (dan, dari sisi agama, pada dimensi pertama dan kedua dalam pambagian Smart).

Dalam pandangan ini, jika “integrasi” ingin dilakukan, maka itu akan berbentuk upaya agama mengasimilasi bukan mengonstruksi suatu teologi berdasarkan apa yang disebut “implikasi filosofis/teologis” dari teori-teori ilmiah. Sejajar dengan itu, Van Fraassen, yang secara umum memang tak menyukai metafisika, melihat agama lebih eksis dalam wilayah eksistensial manusia, bukan wilayah pengetahuan. Dengan kata lain, menggunakan skema Smart, Van Fraassen tak terlalu percaya pada dua dimensi pertama agama. Menarik juga untuk melihat bahwa “integrasi” model ini, pada tipologi Barbour mungkin akan lebih tepat digolongkan ke dalam “independensi”.

Lepas dari itu semua, contoh-contoh tersebut telah cukup menggambarkan bagaimana pandangan tentang hubungan agama dan ilmu (khususnya terkait dengan integrasi) amat dipengaruhi oleh bagaimana tiap-tiap bidang itu dipahami. Lebih jauh, perhatian terbesar sejauh ini adalah pada dimensi ontology dan epistimologi ilmu, atau dimensi filoosofis dan naratif agama. Terbatas pada wilayah ini pun, ada beragam jenis integrasi yang bias dimunculkan.

Selain itu, bisa juga disimpulkan bahwa meskipun tampak bahwa etika adalah salah satu bidang yang subur untuk menumbuhkan pertemuan keduanya, nyatanya dalam wacana ilmu dan agama yang belakangan, tampaknya bidang ini justru belum tergarap dengan baik. Tampaknya memang perlu perhatian yang lebih serius pada dimensi etis dari pertemuan ilmu dan agama.

Menurut Wiebe, gagasan-gagasan Ninian Smart memunculkan asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama. Ninian Smart terlihat menolak untuk mengikuti posisi “ateisme metodologi”nya Peter Berger karena alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari agama” dan “merasakan kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi “mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan”. Petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki kajian religio-teologi tentang agama yang darinya kajian ilmiah tentang agama pertama kali muncul”.

Berdasarkan uraian-uraian sekilas tentang dimensi agama tersebut, tampak bahwa semua agama, memiliki dua aspek penting, yaitu aspek normatif dan aspek historis. Barangkali dalam bahasa Mercia Eliade, adalah yang sakral dan yang profan. untuk mempertemukan dua hal yang saling bertolak belakang itu diperlukan suatu penghubung, yang kemudian bisa disebut realitas tengah.

Hemat penulis, supaya tidak terlalu jauh pembahasan dalam hal ini, sederhananya dalam rumusan Ninian Smart agama dapat dijabarkan, bahwa realitas keberagamaan itu terbagi dua. Sebab, prinsip realitas itu ada dua, yaitu realitas dalam dan realitas luar. Atau dapat dikatakan realitas keberagamaan itu terbagi tiga, yaitu realitas dalam, realitas luar, dan realitas ambang (tengah-tengah). (Slamet)



Catatan: tulisan ini merupakan review pada ruang kuliah di kelas religious studies..

2 komentar: